watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

DIKAPAL LAUT

Melihat berita di TV tentang pulangnya para TKI
dari Malaysia dengan kapal-kapal besar, aku jadi
teringat kisahku yang juga terjadi di kapal besar
semacam itu. Sekitar lima tahun lalu aku
mendapat telegram dari anak perempuanku y
ang hendak melahirkan anak pertamanya sebulan
lagi. Sudah hampir setahun ia ikut suaminya yang
kerja di Irian Jaya dan ia sangat berharap aku
dapat menungguinya saat dia melahirkan.
Suaminya akan menjemputku dalam waktu 1-2
minggu itu setelah selesai urusan kantornya.
Benar saja, dua minggu kemudian menantuku,
Bimo, datang. Ia sedang mengurus pekerjaan di
Jawa Timur sekitar dua minggu. Setelah selesai, ia
menjemputku dan masih sempat menginap
selama tiga hari sebelum kapal berangkat dari
pelabuhan Tanjung Perak.
Hari H pun tiba. Pagi-pagi diantar anak bungsuku
kami berangkat ke Tanjung Perak yang jaraknya
sekitar dua jam perjalanan dari kota kami. Sejak
suamiku meninggal memang aku jadi sering
pergi berkunjung ke anak-anak yang tersebar di
beberapa kota. Untuk anakku yang di Irian Jaya ini
merupakan kunjunganku yang pertama, maklum
jaraknya jauh sekali. Menurut menantuku, lama
perjalanan laut sampai 3 hari 2 malam.
Sampai di pelabuhan Bimo segera mengurus tiket
yang sudah dipesannya. Kemudian kami naik ke
kapal besar itu. Penumpang kapal yang ribuan
jumlahnya membuat para pengantar tidak bisa
ikut naik, termasuk anak bungsuku. Baru sekali itu
aku naik kapal laut. Sungguh mengejutkan karena
penumpangnya ribuan orang dan sebagian
hanya duduk di dek atau lorong-lorong kapal.
Sebagian lagi menempati bangsal seperti kamar
asrama dengan tempat tidur raksasa yang muat
ratusan orang. Kuikuti langkah Bimo melewati
mereka, bahkan terpaksa melangkahi beberapa
orang, hingga sampai di bagian ujung kapal yang
merupakan deretan kamar. Hanya sekitar 1 0
kamar, itupun ukurannya Cuma sekitar 3×3
meter. Ini kuketahui setelah Bimo membuka pintu
kamar dan kami memasukinya.
“Ini kamar kita, bu,” kata Bimo sambil masuk lalu
menaruh seluruh bawaan kami. Dengan
canggung aku masuk. Yang nampak memenuhi
hampir separuh ruangan adalah ranjang kayu
yang muat dua orang serta meja kecil pendek.
Perlahan aku duduk di ranjang dan menyibak
gorden di atasnya. Nampak air laut di kaca bulat
dan tebal itu. Iiih ternyata kami berada di bawah
permukaan laut.
“Maaf, bu, harga tiket kamar di atas mahal sekali,
terpaksa saya pilih yang di sini,” ujar Bimo
merasakan kegalauanku.
“Ah, tak apa-apa Bim, daripada harus tidur di dek
kapal,” sahutku.
“Sebaiknya kita sekarang mandi dulu saja, bu.
Kalau terlambat nanti antrinya lama sekali.”
Benar kata Bimo, sewaktu sampai di deretan
kamar mandi (ada 6) sudah ada antrian sekitar 2-3
orang di setiap kamar mandi. Mandi pun harus
buru-buru dan biar praktis aku langsung pakai
daster saja.
Sekitar jam 2 siang kapal mulai bergerak. Setelah
puas melihat-lihat suasana kapal yang dijejali
ribuan orang, persis seperti pengungsi, akupun
kembali ke kamar. Bimo masuk ke kamar sambil
membawa beberapa makanan dan minuman.
Sekitar jam 5 sore terdengar bel dibunyikan oleh
awak kapal.
“Itu pertanda kita harus antri makan malam, bu,”
jelas Bimo. Dan sekali lagi kami harus berbaris
antri mengambil nasi dengan lauk sayur dan
sedikit ikan laut. Nampan, piring dan sendok
aluminium yang kami pakai mengingatkanku
akan para napi di penjara. Ternyata beginilah
pelayanan kapal laut kita. Selewat jam 7 malam
makanan tidak disediakan lagi. Membayangkan
bagaimana ribuan nampan, piring dan sendok itu
dicuci dengan air yang sangat terbatas aku jadi
sulit menelan makanan yang sudah di mulut.
Bimo mengembalikan peralatan makan
sementara aku ke kamar mandi untuk cuci dan
pipis. Cape sekali hari itu dan aku perlu segera
tidur malam itu. Kapal yang bergoyang-goyang
karena ombak besar membuat kepalaku pening.
“Silahkan ibu tidur dulu. Saya masih perlu
menyiapkan laporan untuk kantor,” kata Bimo
sambil membuka berkas-berkasnya di meja kecil
sambil duduk di lantai kapal yang berkarpet. Aku
pun naik ke ranjang mengambil posisi mepet ke
dinding kapal. Sekilas terlintas di benakku, “Aku,
janda usia 45 tahun, tidur seranjang dengan
menantuku?” Tapi segera kutepis mengingat ini
dalam keadaan terpaksa dan sopan santun Bimo
selama ini. Untuk menyuruhnya tidur di lantai
kapal aku tak tega.
Entah berapa lama terlelap, aku terbangun karena
merasa ada sesuatu yang memelukku. Saat
kubuka mata, kamar gelap sekali, sementara
posisi tubuhku sudah telentang. Segera aku
menduga Bimo mau berbuat yang tidak senonoh
padaku dan aku siap berontak. Tapi beberapa saat
kurasakan tidak ada gerakan dari tubuhnya dan
malah terdengar dengkur halusnya. Ternyata
Bimo tertidur.
Bagaimana ini? Apa aku harus menyingkirkan
tangannya dari atas perut dan dadaku (yang tak
berbeha seperti kebiasaanku kalau tidur) serta
kakinya yang menindih paha kananku? Aku tak
tega membangunkannya dan jadi serba salah
dengan posisi yang demikian itu. Aku tak bisa
menyalahkannya karena ia tertidur dan ranjang
kami termasuk berukuran pas-pasan untuk dua
orang. Akhirnya aku pilih diam saja dan bertahan
pada posisi itu meski dari gesekan kulit akhirnya
kuketahui kalau Bimo saat itu bertelanjang dada.
Dan persentuhan paha kami juga menandakan
bahwa Bimo tidak memakai celana panjang.
Mungkin dia hanya memakai celana pendek atau
justru celana dalam saja, pikirku. Aku dag -dig-
dug membayangkan dia tidur telanjang.
Kupejamkan mata dan berusaha tidur lagi sambil
berharap Bimo melepas pelukannya sehingga aku
bisa berguling ke dinding kapal
memunggunginya. Namun sampai terkantuk-
kantuk harapanku tak terkabul. Sampai aku
terlelap lagi tangan dan tubuh kekar Bimo masih
menelangkupi dadaku dan pahanya menindih
pahaku. Mungkin ia tengah membayangkan tidur
dengan istrinya, pikirku. Aku semakin bisa
memaklumi dan tidak begitu peduli lagi dengan
posisi tidur kami.
Beberapa lama kemudian, aku menggeliat dan
terbangun lagi. Kini tubuh kekar Bimo ternyata
sudah ada di atasku, menindihku. Bahkan terasa
pahaku dikangkangkannya sehingga celana
dalamnya tepat di atas celana dalamku karena
dasterku sudah tertarik ke atas. Tonjolan penisnya
yang tegang terasa sekali. Remasan tangannya di
payudaraku, meski masih tertutup daster,
membuatku meronta.
“Bimo! Apa-apaan ini? Aku ibu mertuamu, Bim!”
Ucapku setengah berteriak takut terdengar kamar
sebelah sambil tanganku menolakkan dada
telanjangnya.
“Ugh, maaf bu, kukira tadi aku tidur dengan
istriku. Sudah hampir sebulan aku puasa, bu?”
“Iya, tapi jangan dilampiaskan ke aku dong,”
kataku jengkel sambil menepis tangannya yang
nakal. Sementara selangkanganku tak berkutik
terpaksa menerima dan merasakan tekanan
penisnya yang terbalut celana dalam.
“Ak.. aku cuma ingin memeluk-meluk saja kok,
bu. Tidak sampai itu?” jawabnya polos.
“Aku kuatir kamu lupa diri” lalu memperkosaku?”
belaku sambil berusaha menyingkirkan pahanya
tapi tenagaku tak cukup kuat.
“Sumpah, bu. Aku cuma ingin memeluk-meluk
saja dan tidak bakalan memperkosa. Kalau aku
mau pasti dari tadi celana dalamku dan ibu sudah
kulepas?” balasnya.
Aku berhenti berontak sambil memikirkan kata-
katanya. Benarkah ini terjadi hanya karena dia
sedang bernafsu setelah sebulan tidak ketemu
istrinya.Egh.. ugh, kini bukan hanya remasan, tapi
malah gigitan kecil yang terasa di putting kananku
yang masih tertutup daster. Puting kiriku terasa
dipelintir kecil. Greeeng, kurasakan nikmat sesaat.
Sudah lama aku tak merasakan kenikmatan ini.
Ada keinginan untuk berontak namun ada juga
dorongan untuk menikmati kemesraan ini.
“Benar ya, Bim. Janji, tidak boleh copot celana
dalam?” tantangku.
“Iya, bu, aku janji tidak akan mencopot celana
dalam kita?”
Hshhh…. hsshh…. perlahan aku semakin
menikmati cumbuannya. Rasanya ingin
mengulang kenikmatan saat suamiku masih ada.
Meski agak canggung, pelan-pelan tanganku
malah memeluk punggung Bimo yang
menaikkan posisinya hingga kepala kami sejajar.
Ia mulai mengecup-ngecup wajahku. Aku
berusaha melengos tapi tangannya sudah
memegang kedua pipiku dan bibirnya mendarat
di bibirku. Ufh… bibirku disedotnya, lidahnya
memasuki mulutku. Mula-mula aku pasif, tapi
lama-lama ikut aktif juga bersilat lidah. Kami saling
sedot dan isep lidah dan bibir.
“Bu, dasternya dilepas saja ya,” mendadak Bimo
berkata setelah kami lelah berciuman.
“Ingat janjimu, Bim..” kataku.
“Aku kan janji tidak melepas celana dalam kan,
bu?” jawabnya sambil perlahan tangannya
menari k dasterku ke atas. Entah kenapa aku tak
mampu menolak dan hanya pasrah ketika daster
itu dilempar entah kemana, dan kami tinggal
berbalut cd. Yang kulakukan kemudian hanya
memejamkan mata ketika tubuh kekar itu
memelukiku, menghisapi susuku kiri kanan dan
menekan-nekan selangkanganku, menjilati
sekujur tubuh. Aku menggelinjang kenikmatan
sambil mempererat pelukanku di punggungnya.
Oooh… aku malah terlena. Tubuh kami basah
mandi keringat.
Pantatku mendadak terangkat ketika salah stau jari
Bimo mengelus bibir vaginaku yang masih
tertutup cd.
“Bim, jangan?”
“Aku hanya mengelus dari luar kok, bu?”
“Nanti aku jadi terangsang, Bim?”
“Nggak apa-apa kan, bu. Saat ini kita saling
memuaskan saja deh, bu. Aku akan bikin ibu
orgasme tanpa membuka cd ibu?”
Benar saja, sejurus kemudian sensasi hebat
kurasakan ketika gesekan dan pijatan jemari Bimo
di bawah perutku semakin liar. Aku segera
merasa ada sesuatu yang mengalir keluar dari
vaginaku.
“Ibu sudah basah ya?” Tanya Bimo nakal. Aku
jadi malu dan pilih diam saja sambil terus
menikmati rabaan gila itu. Ya, aku memang
sudah hampir orgasme dan Bimo tahu itu. Serta
merta ia memutar posisi tubuhnya hingga
mulutnya dapat menjilati cd di bagian
selangkanganku. Kakiku dinaikkannya dan
tubuhku agak diseret turun, sementara bagian cd-
nya tepat di depan wajahku.
Uh… uh… sambil memegang kedua pahaku Bimo
memainkan lidahnya sedemikian hebat. Menjilati
paha, perut lalu semakin turun hingga tepat di
bibir vaginaku. Ia tak canggung menggigit-gigit
cd ku dan menekannya dengan lidah sehingga
masuk.. Aku semakin basah. Banjir. “Ooh… Bim…
Bim..” Aku mulai mengejan berkejat-kejat,
menumpahkan semuanya sampai merembesi cd
dan Bimo menghisapinya kuat.
Tangan kananku dipegang Bimo dan ditaruhnya
di gelembung cd-nya yang berisi penis tegang
itu. Tanganku diremas-remaskannya di benda
tumpul lunak-keras yang panjangnya sekitar 20
cm itu. Aku yang semula canggung jadi makin
terbiasa, malah akhirnya terbawa nafsu untuk
menciuminya meski dari luar cd. Bimo mendesis
ketika barangnya kujilat dan kukocok-kocok dari
luar.
“Ak… aku mau keluar juga, bu?” erangnya ketika
tanganku bergerak lebih kuat dan sekejap
kemudian kurasakan penisnya menekan kuat
bergetar-getar memuncratkan isinya di dalam cd.
Barang itu terus kuperas habis sampai akhirnya
melemas dan tubuh Bimo menggelosoh
kecapaian dan dagunya diletakkan di vaginaku.
Satu sama! Dia ejakulasi sekali, aku juga orgasme
sekali.
“Cape ya, bu?” tanyanya sambil memelukku.
Dengan manja aku menyorongkan kepala ke
dadanya yang berbulu. Tangannya segera
meremas susuku lagi.
“Sudah dulu, Bim?” bisikku sambil menghentikan
remasannya.
“Berarti nanti lagi ya, bu?” Aku tak menjawab dan
cuma memberinya remasan kecil dipenisnya
yang telah mengecil. Oh, nikmatnya seks….
“Ini jam berapa, Bim?”
“Paling masih sekitar jam 12 malam, bu. Masih
dua hari lagi kita sampai. Aku akan puasi ibu
selama dua hari ini. Kita tidak perlu keluar kamar?”
Gila, pikirku! Selama 2 hari 2 malam main seks
dengan Bimo? Apa aku bisa tahan untuk tidak
melepas celana dalam? Mungkin aku masih tahan,
tapi Bimo? Namanya juga laki-laki, kalau nafsunya
naik pasti main paksa. Bagaimana kalau aku jadi
hamil? Sudah lama aku tak minum pil KB lagi. Aku
merinding manakala membayangkan dihamili
Bimo. Tapi aku tak mau lepas juga dari
pelukannya. Tak peduli tubuh kami bersimbah
keringat dan seprei ranjang acak-acakan.
Malam pertama itu kami ulangi tiga kali lagi
pergumulan nikmat itu. Beruntung malam itu
kami masih kuat bertahan tak lepas cd, meski cd
yang kami pakai sudah kuyup terkena air mani
berkali-kali. Kami tak dengar lagi bel makan pagi
karena saat itu masih terlelap. Bangun sekitar jam
10 siang kudapati tubuh kami masih berpelukan.
Susuku yang berbeha nomor 36 menempel lekat
di dadanya. Cahaya remang-remang dari jendela
kaca membuat wajahku memanas, malu. Kalau
semalam kami tak saling melihat wajah karena
gelap aku masih bisa menahan malu, maka siang
ini kami harus bertatap muka. Kuperhatikan Bimo
yang terpejam. Gila! Tubuhnya benar-benar
seperti Bima dalam pewayangan. Besar, kekar
agak hitam dengan rambut di dadanya. Dadaku
berdesir setiap kali rambut itu menerpa putingku.
Perlahan kulepaskan diriku dari pelukannya dan
dia kudorong sampai telentang. Tonjolan di balik
cd-nya dan helai-helai rambut yang mencuat dari
cd itu menjanjikan suatu kenikmatan yang… ah,
mestinya tak boleh kubayangkan. Dan beruntung
memang semalam aku belum merasakannya
kecuali dari luar cd. Aku tak bisa membayangkan
barang itu menusukku. Perlahan aku menuruni
ranjang.
“Mau kemana, bu?” Mendadak Bimo terbangun
dan menarik tubuhku kembali dalam pelukannya.
“Mau mandi, Bim,” jawabku.
“Nanti sajalah, bu, agak sore saja. Hari ini aku
mau kita di ranjang ini saja. Kalau ibu lapar bisa
makan roti yang sudah kubeli.” Aku tak berdaya
ketika Bimo menggulingkan tubuhku kembali ke
ranjang. Menelentangkanku lalu memanjat dan
menunggangikuku lagi. Ufhh… lagi-lagi tetek
montokku jadi bulan-bulanan mulutnya, demikian
pula tekanan-tekanan pada vaginaku membuat
pahaku semakin terkangkang lebar. Sedikit demi
sedikit gairahku meletup lagi, terlebih setelah
merasakan tonjolan zakar Bimo menggesek-
gesekku dengan ketat.
“Bim, lama-lama aku nggak kuat kalau dirangsang
begini terus?” bisikku.
“Kalau nggak kuat ya tinggal dikeluarin saja to,
bu,” jawabnya sambil mencucup putingku dan
menyedotnya.
“Maksudku, aku takut nanti jadi kepingin buka
cd…. egghh….. jangan keras-keras, Bim?”
desahku. Bimo mengurangi tekanan di vaginaku.
“Aku kan sudah janji tak akan buka cd ibu. Tapi
kalau ibu dengan sukarela buka sendiri ya bukan
salahku lho…. hehehe?” guraunya sambi
mencium bibirku.
“Untuk variasi, coba deh ibu di atas…. tolong
diisepin tetekku dong, bu?” pintanya manja. Aku
mandah saja ketika ia memelukku lalu
menggulingkan tubuhnya hingga telentang dan
aku menindihnya. Dibimbingnya kepalaku ke
putingnya. Pelan kujilat-jilat lalu kuisap.
“Yang kuat, bu?”erangnya sementara tangannya
bergerak turun ke arah pantatku. Meremas dan
menekan-nekannya sambil mengayun zakarnya
ke atas sehingga bertemu dengan vaginaku meski
masih terbungkus cd. Sejenak kemudian pahaku
dibukanya dengan dua tangan lalu tangan itu
mulai mengobok-obok daerah sensitifku itu.
Sebentar saja aku kembali basah.
“Bim, oh Bim.. aku mau keluar,” desisku tak
tahan. Namun Bimo mendadak menghentikan
gerakan tangannya sehingga aku blingsatan.
“Teruskan, Bim,” pintaku sambil meletakkan
tangannya di memekku lagi, tapi ia tetap diam.
“Jangan buru-buru, bu. Makin lama makin nikmat
kan?” godanya membuatku tak sabar. Nafsuku
yang sudah di ubun-ubun minta penuntasan
segera tapi Bimo sengaja menggodaku. Entah
dapat kekuatan dari mana tiba-tiba aku jadi
beringas. Kududuki perut Bimo lalu kuambil
tangan kanannya, kupilih telunjuknya lalu kubawa
ke arah vaginaku. Kusisipkan jari itu di sela-sela cd
ku dan segera kumasuk kan ke liang vagina.
“Bim, tolong kau puasi aku dengan jarimu…. Aku
nggak tahan lagi?” Kutusuk-tusukkan jari Bimo
dalam-dalam. Dan setelah kurasakan ia mulai
menggerakkan jarinya keluar masuk, aku lalu
meneletangkan tubuh ke belakang, sampai
kepalaku bertumpu pada pahanya. Ugh… egh…
kunikmati kocokan jari Bimo di vulvaku.
Kurasakan cairanku menderas. Mataku membeliak
menikmati surga dunia itu. Gilanya, kemudian aku
merasa pahaku ditarik ke atas dan sekarang
bukan lagi jari Bimo, melainkan lidahnya yang
yang menusuk-nusuk memasuki vaginaku. Ia
memang tidak membuka cd-ku, hanya
menyibakkan bagian bawahnya lebar-lebar.
“Seeer… cret…. suuur?” aku sampai ke klimaks.
Pantatku berkejat-kejat mengejan gemetaran dan
Bimo menelan semua maniku sampai aku lemas.
Ia terus menyedot dan menjilat-jilat. Sungguh
edan! Tubuhku terjelepak di pahanya dengan
nafas ngos-ngosan. Namun kurasakan jemari
Bimo menggantikan lidahnya menusuki lubang
memekku. Tidak hanya satu jari, tapi 2 kadang 3
jari masuk bareng!
“Cukup, Bim..” pintaku.
“Belum, bu,” jawabnya sambil terus merangsang
klitorisku, “wanita biasanya bisa mencapai
orgasme berkali-kali. Aku mau buktikan itu,”
katanya.
Tak menunggu lama, ucapan Bimo terbukti.
Syahwatku memuncak lagi dan cairanku
mengucur lagi. Bimo mengerjaiku dengan cara
itu sampai aku empat kali orgasme. Apa ia juga
melakukan hal ini pada istrinya, anakku?
“Nah, sekarang terbukti aku lebih kuat kan, bu.
Aku belum sekalipun buka cd tapi ibu malah
memaksaku mengocok vagina ibu?”
“Aku benar-benar tak kuat, Bim. Sudah bertahun-
tahun aku tak pernah merasakan kenikmatan dan
sekarang kamu merangsangnya terus sejak
semalaman. Siapa bisa tahan?”
“Apa itu berarti ibu tidak mau pakai cd lagi?”
“Aku tetap pakai dan kamu juga. Aku takut
hamil?”
Setelah empat kali orgasme berturut-turut,
tulang-tulangku seperti dilolosi. Pelan kugeser
tubuhku turun dari ranjang mengambil cd baru
dari tas lalu tanpa sungkan kupakai di depan
Bimo.
“Kamu juga harus ganti cd baru, Bim, kan sudah
bau bekas sperma kemarin kan..”
`”Iya, iya, bu” sekalian aja nanti waktu mandi.
Sekarang aku ingin ibu ganti memuaskanku?”
Tangan Bimo menggapaiku dan mendudukkan
pantatku tepat di atas zakarnya. Kugoyang-
goyang pantatku sampai Bimo mendesis-desis
sambil meremasi tetekku. Kupercepat
rangsanganku pakai tangan. Kugenggam zakar di
balik cd itu dan kukocok-kocok sampai 15 menit
barulah kemudian Bimo memelukku erat-erat
sambil menyemburkan sperma di dalam cd nya.
Setelah habis kuperas, ia memelukku dan
menggulirkan tubuh kami ke ranjang. Kami
terdiam. Kudengar nafasnya agak memburu.
Kami benar-benar capai berpacu dalam birahi.
Bel makan siang berbunyi tapi kami tetap tak
beranjak keluar kamar. Kami hanya makan roti
dan minum minuman kaleng yang dibeli Bimo,
entah apa tapi rasanya agak hangat di badan.
Selama ini kami masih bertahan pakai cd.
“Aku akan berusaha sampai ibu buka cd sendiri,”
tekadnya sambil mengecup dan menggigit-gigit
telingaku, mengecupi wajahku, menciumi bibirku,
menjilati dagu, leher, dada, menyedoti tetekku
kiri-kanan, turun terus sampai aku menggelinjang
ketika lidahnya sampai di perutku, pusar dan
terus turun. Menyelip-nyelip di cd di daerah
selangkanganku. Menyentuh-nyentuh lubang
vagina, menerobos sampai klitorisku dapat
diemut dan dimainkan dengan lidahnya.
Uuffgghh…. kurasakan nikmat mengalir dari
selangkangan sampai ke kepalaku. Kutekan kepala
Bimo keras-keras. “Aa…. aku nggak kuat, Bim…
hsshh…. hsshhh.. enaaak banget…. nikmaaat?”
tanpa sadar tanganku beralih ke cdku dan cepat
melepasnya. Bimo membantuku melepas cd itu
setelah melewati paha. Kini aku bugil gil dengan
paha ngangkang dijilati menantuku! Suur…
cret….cret…. aku orgasme lagi dengan paha
ngangkang berkejat-kejat. Mungkin ini yang ke-10
kali sejak kemarin. Dan lagi-lagi Bimo melahapnya
dengan ganas, menyedot, mengisapku sampai
kering.
“Terbukti, kan, ibu sudah buka cd sendiri,”
bisiknya sambil menaikiku lagi hingga bibirnya
mencapai bibirku dan selangkangannya menekan
vaginaku. “Sekarang ibu akan kupaksa membuka
cdku juga?” desisnya samibl menekan-nekan dan
memutar-mutar tonjolan cdnya ke vaginaku.
Batang besar yang tercetak di cd itu sekarang
masuk memanjang di bibir vaginaku.
Digesekkannya naik turun membangkitkan
birahiku lagi. Remasan di tetekku dan mungkin
pengaruh minuman kaleng tadi mempercepat
syahwatku naik lagi.
“Ja….jangan, Bim. Jangan perkosa aku…. nanti
hamil?” erangku sambil memelukkan pahaku ke
pahanya dan tanganku ke punggungnya, tak kuat
merasakan rangsangan yang melanda.
“Tidak, bu…. tapi ibu sendiri yang bakal minta
kuperkosa. Ibu ingin zakarku masuk ke memek
ibu, kan?”
“Jang…. jangan, Bim….. eegghhh?” aku harus
mengejan lagi hendak mengeluarkan mani.
Namun mendadak Bimo berbalik dan membuat
posisi 69. Lidahnya kini bebas memasuki
vaginaku tanpa halangan cd, sedangkan tonjolan
besar zakarnya tepat di depan wajahku yang mau
tak mau terpaksa kupegang supaya tidak
menekan wajahku terlalu kuat. Berdenyut-denyut
benda tumpul kenyal itu di genggamanku.
Kukocok-kocok dan, karena ukuran cdnya yang
kecil, membuat kepala zakar itu sekarang muncul
di perutnya.
“Jilat, bu…. isep….” pintanya sambil mengarahkan
tonjolan itu ke mulutku. Aku yang sudah tak
mampu berpikir jernih perlahan tapi pasti
menuruti permintaan gilanya yang belum pernah
kulakukan pada suamiku sekalipun. Ufh..
kukulum-kulum kecil ujung penisnya dan
membuat benda panjang itu semakin keluar dari
cd, seperti ular. Kupegang batang ular itu
sementara kepalanya masuk ke mulutku semakin
dalam. Semakin dalam dan semakin bergelenyar,
berkejut-kejut di mulutku. Agar lebih leluasa,
cdnya semakin kuturunkan dan sekejap
kemudian tanpa sadar cd itu sudah kulepas dari
pahanya! Lagi-lagi Bimo membuktikan
keampuhan rangsangannya pada tubuhku.
Kocokan zakarnya di mulutku semakin cepat,
cepat dan craaat croot crooot! Spermanya kontan
memenuhi mulutku, ada yang tertelan, ada yang
meleleh keluar dari bibirku. Sementara bibir
bawahku pun memancarkan maninya lagi
bertubi-tubi…. disambut oleh mulut Bimo yang
menampungnya sampai tuntas. Tuntas tas,
sampai kami berdua terjelepak kecapaiannya di
ranjang. Gemuruh dada dan sengal-sengal nafas
kami memenuhi udara kamar mesum itu.
“Thanks ya bu. Ibu sudah buka cdku, berarti aku
boleh melakukan apa saja dengan penisku pada
ibu kan?” tanyanya menggodaku.
“Ta…tapi jangan kau hamili aku, Bim?”
“Memang ibu masih bisa hamil?”
“Masih, Bim…. meski sudah 45 tahun aku masih
mens?”
“Ya, nanti kita atur sajalah, bu…. yang penting aku
boleh masukkan penis ke sini kan?” rajuknya
sambil mengelus vaginaku dan membawa
tanganku memegang penisnya.
“Tap…. tapi pelan-pelan saja ya Bim dan jangan
dikeluarkan di dalam?” akhirnya aku memenuhi
desakan nafsunya.
“Thanks, bu,” katanya lagi sambil mengecupku
dan menunggangiku lagi. Mengangkangkan
pahaku lagi lalu memacuku. Bagai joki tak kenal
lelah. Aku pun rela jadi kuda pacu lagi. Terlebih
setelah merasakan barang panjang itu
berkembang lagi bergerak-gerak di
selangkanganku. Menusuk-nusuk mencari jalan
masuk.
“Bim, egh, Bim…jangan masukkan Bim..” aku
masih takut-takut. Tapi Bimo tak peduli dan tetap
mengarahkan kepala zakarnya ke vaginaku.
Menggosok-gosok pintu lubang, menjujut-jujut
mau masuk. Kurapatkan paha, tapi tangan Bimo
cepat membukanya lagi, menekan ke kiri-kanan
dan bleess….. zakar panjang itu ambles ke dalam
memekku yang licin penuh lendir mani.
“Bim, gila kamu!” Badanku melenting ke atas
memeluknya, merasakan sensasi gila di
selangkangan. Yah, akhirnya sambil duduk
kunikmati kocokan zakar Bimo yang memaju-
mundurkan pantatku. Sakit, nikmat, nafsu
syahwat campur jadi satu.
“Bim…. Bim…. jangan keluarkan di dalam?” aku
mengingatkan tapi Bimo malah tambah rapat
memeluk pantat belakangku dan menggerakkan
pantatnya sendiri maju-mundur, keluar masuk.
“Aku mau sampai tuntas, bu..” bisiknya di sela-
sela deru nafasnya.
“Aku bisa hamil, Bim!”
“Aku tak percaya.”
“Serius, Bim!”
“Sekarang kita nikmati saja, bu…. hamil urusan
nanti.” Gocohannya tambah keras dan aku malah
semakin menggigil merasakan nikmat syahwat
itu sampai ke ubun-ubun. Ketakutan akan
kehamilan pun jadi terlupakan.
Bimo mendorongku telentang ke ranjang dan dia
lalu jadi joki piawai. Mengolah gerakan pantatnya,
zakarnya keluar masuk, naik turun, mencangkul,
menusuk, mengobrak-abrik memekku sampai
akhirnya dia menekan sangat keras dan crooot…
crooot… crooot…. cruuut… cruut…. cret…!!
Sperma hangat mengaliri rahimku dan akupun
mengejan berkejat-kejat lagi menumpahkan
mani. Memeluk punggung dan pahanya erat-erat.
Kami mencapai puncak bersamaan. Dan ini kali
pertama zakarnya bersarang di vaginaku tanpa
bisa kularang karena aku juga menginginkan.
Resiko hamil kujadikan urusan belakang.
Kenikmatan itu terus kami reguk setelah mandi
dan makan malam. Semalaman lagi kami
bergumul memanjakan syahwat hingga
terdengar sirene kapal memberitahukan bahwa
pelabuhan tujuan sudah kelihatan. Namun untuk
mencapai pelabuhan itupun masih perlu waktu
dua jam lagi dan itupun terus kami gunakan
mereguk madu nafsu di kapal itu. Kami biarkan
penumpang lain turun lebih dulu supaya mereka
tidak melihat tubuh dan wajah kami yang kusut
masai pucat pasi kehabisan mani.
Setelah itu dua bulan aku menemani anakku di
Irian Jaya, dan dua bulan itu pula kami secara
sembunyi-sembunyi terus berzinah. Demikian
pula sewaktu Bimo mengantarku pulang ke Jawa
Timur, kami memilih naik kapal laut lagi, bahkan
kami sempat menginap tiga hari di hotel
Surabaya sebelum pulang ke rumah. Tahun
depan, aku berharap Bimo mau menjemputku
untuk menengok anakku lagi. Setelah merasakan
kelelakian Bimo, rasanya aku jadi tak kuat “puasa”
berlama-lama. Aku tak mau dengan laki-laki lain.
Dan kukira aku harus segera sterilisasi untuk
mencegah kelahiran anakku sekaligus cucuku.


Adult | GO HOME | Exit
1/1551
U-ON

inc Powered by Xtgem.com